Kasus Ahok & Toleransi Beragama: Sebuah Refleksi Pragmatis

Tanggal 16 November 2016 adalah hari yang saya tunggu untuk mengetahui keputusan hukum dari Bareskrim Polri atas Ahok. Sebagai warga negara, kita sepakat untuk menghargai keputusan Polisi bahwa Ahok ditetapkan sebagai tersangka karena “Penistaan Agama.” Terlepas dari keputusan itu, saya tertarik untuk menyelidiki dualisme interpretasi para ulama dan Kiyai tentang surat Al-Maidah 51. Lembaga MUI dan Rizieq cs menegaskan bahwa Ahok melakukan penistaan, tetapi beberapa ulama dan kyai seperti Quraish Shihab, Gus Mus, Buya Syafii Maarif, Wahid Center, berdasarkan hasil penyelidikan yang dalam tentang Biblical-Linguistic dan penelitian obyektif tentang Socio-Theology mengenai Surat Al-Maidah-51, menegaskan bahwa tidak ada unsur “penistaan agama” pada pidato Ahok. Ini mengisyaratkan bahwa ayat tersebut di atas memiliki multi-interpretasi. Argumentasi obyektif dari kelompok kedua di atas menimbulkan resistensi publik. Mereka yang mendukung keputusan MUI memperkuat opini melalui gelar demonstrasi. Salah satu tuntutan irrasional dari para demonstran 4 November 2016 adalah Ahok harus segera dipenjara. Satu minggu kemudian, hasil gelar perkara dari Mabes Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka. Sebagai orang yang awam tentang hukum, kita harus membangun presuposisi positif bahwa penetapan Ahok sebagai tersangka adalah produk dari obyektivitas dan profesionalitas kerja Polri dan kita menunggu hasil akhir dari proses hukum.

Di luar obyektivitas keputusan tersebut, kita menemukan polarisasi dalam “perang” ide dan teologi, yaitu minoritas (ulama dan kiyai tersebut di atas) melawan mayoritas demonstran (FPI, MUI, politikus, penceramah, pimpinan pondok pesantren, dan para demonstran). Pertanyaannya adalah mengapa “satu Ahok” menjadi tokoh antagonis dalam pusaran kontroversi yang melibatkan jutaan orang di sosial-media dan puluhan ribu orang di jalanan pada 4 November itu? Hanya ada satu jawaban dari para konspirator anti-Ahok (termasuk Buni Yani), yaitu ia telah menista agama Islam dan Alquran. Benarkah? Faktanya, fatwa MUI telah meratifikasi kehendak mayortias. Sekarang Ahok digiring oleh lawan politik ke dalam sentimen agama. Pada poin ini secara implisit retorika para anti-Ahok menciptakan polarisasi baru dalam “perang,” yaitu Ahok (minoritas) versus sekelompok Muslim (mayoritas). Istilah “mayoritas” di sini tidak mewakili mega-mayoritas Muslim Indonesia, seperti asumsi kita atas tindakan destruktif teroris yang tidak mewakili agama atau kebenaran teologi agama secara umum.

Tulisan ini adalah evaluasi personal atas kasus Ahok dari sudut pandang socio-religious dikaitkan dengan etika moral dan sosial. Tiga fokus utama tulisan: Pertama, karakter dan gaya kepemimpinan Ahok sebagai gubernur menciptakan pertaruangan politik dan Agama. Kedua, beberapa contoh historis tentang penistaan agama tetapi tidak memiliki konsekuensi hukum. Mengapa? Ketiga, implikasi praktis dari kasus Ahok dan apa yang kita pelajari dari kasus ini.

Pertama. Pertarungan Politik dan Agama. Ahok muncul ke hadapan publik Jakarta dan Indonesia ketika terpilih menjadi wakil gubernur Jakarta mendampingi Joko Widodo (Jokowi). Duet Islam-Kristen ini dipandang sebagai simbol kemajuan pluralisme di Indonesia. Kemudian, Jokowi terpilih menjadi peresiden RI, menurut UU secara otomatis Ahok menjadi Gubernur Jakarta. Di sinilah problem dimulai. Dari sekian banyak contoh, saya berikan dua contoh kontroversial tentang Ahok sebagai gubernur: (a) Komunikasi politik dan kebijakan publik Ahok dipandang oleh segelintir orang menabrak batasan etika dan norma kesantunan dan sering ia dianggap tidak humanis. (b) Transparansi pengelolaan keuangan dan pembiayaan, tidak hanya menutup ladang bagi pencuri di Jakarta, tetapi ada yang dijebloskan ke dalam penjara. Inilah titik awal dari lawan politik Ahok untuk mencari pintu untuk menghancurkannya. Beberapa mega proyek, seperti kasus Rumah Sakit Sumber Waras, E-Budgeting APBD, UPS, reklamasi teluk Jakarta, penutupan Kali Jodoh adalah contoh-contoh kasus yang diangkat oleh lawan politik untuk menjatuhkan Ahok, tetapi ia tidak dapat dijatuhkan. Alasannya adalah ia pemimpin konsisten, jujur, terbuka, dan melayani rakyatnya. Terlepas dari kontroversi itu, hasil kerjanya membuat wajah Jakarta mulai mengalami perubahan, tetapi bagi para politisi, yang menganggap diri lebih agamis dan santun, mulai menganut etika binatang buas, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.” Mereka seperti singa yang mengaum-ngaum mencari kelemahan Ahok.

Pidato di kepuluan seribu membangkitkan sentimen agama, sekalipun ia tidak bermaksud untuk itu, tetapi inilah momentum bagi anti-Ahok menggiring “peperangan” pada arena agama. Ia dianggap menghina agama karena menggunakan surat Al-Maidah 51 dalam pidatonya. Klarifikasi dan permintaan maaf Ahok dibungkam. Sekarang “peperangan” beralih dari peperangan antara Ahok melawan para politikus (SBY, Yusril, Lulung, dan partai-partai kontra-Ahok), menjadi peperangan antara Ahok dan Habib Rizieq dan FPI (agama). Sekarang, argumentasi provokatif pemimpin agama yang didukung oleh para politikus anti-Ahok dan itu memberi pemantik kepada ribuan orang untuk berdemonstrasi di jalan pada 4 November 2016. Isu-isu rasial-pun mengemuka, Ahok ditolak menjadi pimpin Jakarta karena keyakinannya (Cina-Kristen). Sudah bisa ditebak, isu politik dibawa ke arena agama sebagai senjata ampuh untuk menghancurkan sang pendekar kebenaran, namanya Ahok.

Pada poin inilah nilai penghormatan pada pluralisme keagamaan, keyakinan, dan suku direduksi untuk memenuhi kepentingan jangka pendek para politikus. Kita dapat simpulkan, Ahok dihancurkan karena satu alasan, yaitu keyakinannya. Mereka menutup mata terhadap kualitas kerja atau kualitas moral Ahok. Pada poin ini kita menemukan sebuah gambaran paradoks, spirit toleransi yang telah lama dipelihara di negeri ini dihancurkan oleh kepentingan jangka pendek segelintir orang. Kasus Ahok menegaskan bahwa pada aspek tertentu di negeri ini, toleransi agama sering hanya sebatas retorika, karena arogansi mayoritas yang ditunggangi oleh politisi masih menjadi senjata pamungkas untuk memutuskan siapa yang salah dan benar di hadapan hukum. Ahok ditetapkan sebagai tersangka karena menghina agama. Secara eksplisit, kita dapat mengatakan status tersangka Ahok adalah produk dari obyektivitas dan profesionalitas kerja polisi, tetapi secara implisit Ahok sesungguhnya adalah korban persaingan politik tingkat tinggi. Kita hanya bisa berdoa untuk negeri kita yang “sakit.”

Berita tentang Ahok sebagai tersangka menjadi berita dunia sesudah Ahok ditetapkan sebagai tersangka tanggal 16 November 2016. Asumsi dasar yang disebutkan di atas tidak hanya dimuat oleh surat kabar dari Barat tetapi juga surat kabar negara Islam. Contoh New York Times mengatakan “Mr. Ahok who is running for re-election in February, has been a political target of radical Islamic organizations since taking office in 2014. This Islamic groups opposed to Mr. Basuki, who is an ethnic Chinese Indonesian.” Lebih lanjut koran yang sama mengatakan: “November 4 protests against Mr. Basuki were motivated more by politics than by religion.” Selain dari pada itu Associate Press dan Washington Post mengatakan bahwa stataus tersangka Ahok menjadi “hadiah” bagi politisi yang bersaing melawan Ahok pada pemilihan gubernur DKI Jakarta February 2017. Media Inggris The Guardian juga mengatakan hal yang sama. Televisi Qatar (negara Muslim), Aljazeera mengatakan bahwa Ahok hanya mengeritik lawan politiknya, bukan Alquran atau Muslim. Saya berandai-andai, jika Indonesia memiliki 100 Ahok, kemajuan negeri ini akan berjalan seperti pesawat ulang alik, tetapi pada saat yang sama banyak yang mati sebagai martir karena resistensi mayoritas terhadap kejujuran, kesetiaan, dan keyakinan dari “100 Ahok.” Tidak heran “satu Ahok” di Jakarta itu berkata, “saya berterima kasih karena polisi telah menetapkan saya sebagai tersangka.” Secara implisit ia mau menegaskan, bahwa ia ditetapkan sebagai tersangka bukan karena melanggar hukum tetapi karena tekanan publik atas keyakinan dan kejujurannya yang dimanipulasi oleh para politikus.

Kedua. Contoh Kasus Penistaan. Tindakan penghinaan atau penistaan agama atau penghinaan atas kultur sudah seumur bumi ini. Di Indonesia penistaan agama sudah sering terjadi. Tapi tidak semua penistaan itu berkahir dengan konsekuensi hukum seperti yang dialami oleh Ahok. Contoh, pernyataan Ahok dan Rizieq dalam ceramah mereka memiliki konstruksi dan ide yang sama, seperti yang terlihat pada pernyataan berikut ini (silahkan nonton you-tube dari dua pernyataan ini):

Ahok : “dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51”
Rizieq : “dia nipu umat pakai ayat Quran/hadist”

Konsekuensi hukum dari dua orang yang membuat pernyataan ini tergantung pada subyek pelaku, bukan pada substansi isi pernyataan. Apa yang kita saksikan sekarang adalah Ahok ditetapkan sebagai tersangka karena Riziek menganggap pernyataan Ahok adalah bentuk penistaan agama. Lalu pernyataan Rizieq? Inilah perbedaannya, subyek Rizieq adalah seorang imam besar FPI, sedangkan Ahok adalah seorang “Cina-Kafir”. Contoh ini menegaskan masih adanya inkonsistensi dan faktor diskriminatif dalam menentukan keadilan di negeri ini.

Contoh lain adalah beredarnya berbagai video di you-tube yang memperlihatkan secara gamblang imam besar FPI, Habib Rizieq dan beberapa penceramah masjid menggunakan istilah “kafir” sebagai label untuk penganut agama lain. Secara etimologis istilah “kafir” dalam kamus Oxford dan Kamus Besar Bahasa Indonesia merujuk pada “unbeliever” atau orang yang tidak memiliki keyakinan kepada Tuhan. Lalu mengapa orang Kristen, yang percaya pada Tuhan dianggap sebagai orang kafir oleh para penceramah? Ini sebuah penghinaan dan penistaan yang vulgar. Tetapi tindakan mereka tidak mendapat konsekuensi hukum, karena pelakunya berasal dari kekuatan mayoritas. Sebaliknya ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, walaupun tidak bermaksud untuk menghina agama tertentu, dianggap sebagai penghinaan karena pelakunya adalah seorang “kafir.”

Kasus lain yang diinformasikan oleh Kapolri adalah contoh yang lain bentuk penistaan agama. Di Jawa Timur terjadi perobekan kertas Alquran. Secara eksplisit, ini adalah penistaan terhadap agama. Tetapi Habib Rizieq dan FPI tidak berteriak dan turun ke jalan. Bisa ditebak alasannya, pelakunya adalah seiman. Penghinaan agama yang sangat brutal dilakukan oleh para teroris dan mereka melakukan kejahatan atas nama agama.

Saya memberikan contoh, terorisme dalam sejarah Kristen terjadi selama 1260 tahun. Gereja melakukan pembantaian terhadap kaum Puritan dan Huguenot, atau sekelompok orang yang melawan kekuatan Gereja. Ini berlangsung dari tahun 538 sampai 1798 AD. Ini adalah bentuk penghinaan dan penistaan terhadap agama, karena atas nama kebenaran, Gereja menghancurkan kebenaran demi keuntungan politik Gereja. Jadi, contoh-contoh di atas menegaskan inkonsistensi dan subyektivitasnya fungsi penerapan hukum di Indonesia. Ahok tidak bermaksud menista agama tertentu, tetapi subyek Ahok faktor penentu, dia seorang “China-Kafir.”

Ketiga. Pelajaran Berharga. Isinkan saya memberikan analogi sebagai pembanding untuk melihat aktualisasi pengalaman tokoh Alkitab dalam dunia nyata, seperti yang dialami oleh Ahok. Dikisahkan dalam Daniel pasal 6, pada zaman kerajaan Medo-Persia, Daniel diangkat menjadi salah satu dari tiga pejabat tinggi. Hal itu membangkitkan kecemburuan, karena Daniel bukan orang Medo-Persia, ia seorang buangan Israel dan menyembah Allah yang berbeda dengan orang Medo-Persia, tetapi ia diangkat menjadi salah satu dari tiga pejabat tinggi. Ada dua alasan pengangkatan Daniel menjadi pejabat tinggi. Pertama, ia mempunyai pengalaman professional sebagai pemimpin di bawah kekuasaan Nebukandenzar (Dan. 2). Kedua, Daniel “mempunyai roh yang luar biasa” (6: 4a). Tetapi ia seorang buangan, atas dasar itulah, para pejabat tinggi dan wakil raja “mencari alasan dakwaan terhadap Daniel, tetapi mereka tidak mendapat alasan apa pun atau sesuatu kesalahan sebab ia setia dan tidak ada didapati sesuatu kesalahan padanya” (6:5). Pernyataan ini menegaskan bahwa Daniel adalah contoh klasik seorang pemimpin politik yang jujur dan setia pada Allahnya dan pekerjaannya. Teks mengatakan “Kita tidak akan mendapat suatu alasan dakwaan terhadap Daniel ini, kecuali dalam hal ibadahnya kepada Allah” (6:6). Atas konspirasi tingkat tinggi para pejabat tinggi kerajaan, raja mengeluarkan keputusan “barangsiapa yang dalam tiga puluh hari menyampaian permohonan kepada salah satu derwa kecuali kepada tuanku, maka ia akan dilemparkan ke dalam gua singa” (6:8). Daniel dijatuhkan melalui apa yang ia percaya. Daniel menjawab tantangan ini dengan: “tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya” (6:11). Ini adalah tuntutan maksimum Daniel yang membuatnya “mempunyai roh yang luar biasa.” Daniel dalam cerita ini sangat sedikit berbicara, tetapi imannya yang hidup dan intensitas komunikasi dengan Allah membuat ia dikenal dan Allah menghargainya. Faktanya, Allah turun tangan dan berjalan bersama Daniel dalam gua singa (ay. 22).
Konsistensi iman dan keteguhan Daniel menghadapi konspirasi politik adalah contoh sempurna bagi realitas Kristen modern. Daniel memiliki hikmat dan integritas untuk menjawab semua tantangan, termasuk tantangan politik. Saya mau mengatakan bahwa Ahok adalah contoh Daniel modern. Konsistensi dan kejujuran Ahok adalah refleksi dari kesetiaannya kepada Allah dan Alkitab. Keteguhan, kejujuran, keterbukaan Ahok menampar wajah Kekristenan kita pada zaman modern, di mana iman kita hanya bermain pada level teori dan retorika doktrin dan seremonial tetapi melupakan aspek pragmatis dan kualitas hubungan dengan Tuhan. Tantangan utama bagi eksistensi kekristenan akhir zaman adalah apa yang kita yakini, dan kepada siapa kita menyembah, serta pada hari apa kita berbakti. Menghadapi tangan tersebut kualitas hubungan dengan Allah adalah faktor penentu. Apa yang kita butuhkan adalah memiliki “roh yang luar biasa” seperti Daniel. Ini adalah satu-satunya modus untuk memperoleh kebijaksanaan, dan integritas moral dalam menghadapi berbagai tekanan hidup. Sering energi kita dikerahkan memikirkan ketidakadilan dan penindasan seperti yang dihadapi oleh Ahok. Daniel telah memberikan contoh reaksi positif menghadapi berbagai tekanan hidup, ia “diam” dan “berdoa.” Bagaimana dengan kita? . ***