Aku Melihat Tuhan

Judul renungan kita kali ini adalah sebuah frasa yang terdapat di dalam Yesaya 6:5, yang mengung- kapkan bahaya yang mengancam kehidupan Nabi Yesaya yang tinggal bersama kominitas bangsanya-Yehuda, terperosok jauh dari Tuhan. “…. Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.”

Kata –namun-, yang membelah ayat 5 ini, memberi dua pengertian kepastian dari ancaman kematian kepada kehidupan bangsa Yehuda. Dan,  frasa berikutnya ini  menjadi lebih  penting atas kenyataan kebaikan Tuhan. Kasih Karunia-Nya bagi Yesaya dan bangsanya  tak terbayangkan, kebaikannya.  “mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.”-ini berarti kehidupan.

Mengapa demikian? Jika kita melihat latar belakang kehidupan Yehuda pada abad ke-8, di mana Yesaya menjadi nabi bagi Yehuda.“Dalam tahun matinya raja Uzia” (Yesaya 6:1), yakni pada tahun 740 sM. Uzia pada mulahnya seorang raja yang baik. Pena inspirasi yang ditulis Ellen G. White dalam dalam bukunya Para Nabi dan Raja sehubungan dengan panggilan kepada Yesaya menyatakan seperti berikut ini: Uzia (yang juga dikenal sebagai Azaria) dalam jangka waktu yang panjang di negeri Yehuda dan Benyamin ditandai oleh suatu kemakmuran yang lebih besar daripada setiap raja lain sejak kematian Salomo, hampir dua abad sebelumnya. Bertahun-tahun lamanya raja itu memerintah dengan bijaksana. Dengan berkat dari Surga tentaranya merebut kembali wilayah yang hilang pada tahun-tahun sebelumnya. Kota-kota dibangun kembali dan diberi benteng, dan kedudukan bangsa itu di antara bangsa-bangsa sekeliling menjadi sangat kuat. Perdagangan hidup kembali, dan kekayaan bangsa-bangsa mengalir ke Yerusalem. Nama Uzia, “termasyhur sampai ke negeri-negeri yang jauh, karena ia ditolong dengan ajaib sehingga menjadi kuat.” 2 Tawarikh 26:15. Namun, kemakmuran secara luar ini tidak dibarengi dengan kuasa kebangunan rohani. Upacara-upacara bait suci berjalan terus seperti dalam tahun-tahun sebelumnya, dan orang banyak berhimpun untuk menyembah Allah yang hidup; tetapi dengan pelahan-lahan kesombongan dan tatacara biasa mengganti kerendahan hati dan ketekunan. Mengenai diri Uzia sendiri ada tertulis: “Setelah ia menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati sehingga ia melakukan hal yang merusak: ia berubah setia kepada Tuhan, Allahnya.” Ayat 16. Dosa yang mengakibatkan bahaya besar bagi Uzia adalah dosa kecongkakan.

Sepanjang masa raja Uzia inilah kemurtadan melanda Yehuda. Alkitab mencatat rumitnya pelangaran Yehuda, sampai dianalogikan melebihi binatang sebab binatang lebih menurut dibandingkan denga Yehuda: “Dengarlah, hai langit, dan perhatikanlah, hai bumi, sebab TUHAN berfirman: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku. Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya.”–Yesaya 1:2,3.
Selanjutnya, Yesaya 1:23 menyatakan dosa para pemimpin: “Para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok. Mereka tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka.”

Dan, akhirnya Yehuda tiba kepada hilangnya rasa atas pertimbangan untuk membedakan  antara kebaikan dan dosa, “Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit.”–Yesaya 5:20

Apakah  berlebihan jika kita mengatakan bahwa keadaan dosa Yehuda berabad-abad yang lalu, setara dengan situasi dunia kita hari ini?  Marilah kita melihat di sekeliling kita, kepada dunia di mana kita tinggal dewasa ini, kita sendirilah yang dapat menjawabnya.       

“Aku melihat Tuhan” dalam penggalan ayat di Yesaya 6:5, paling tidak  memberi kepada kita dua hal yang penting. Pertama, dengan penuh kesadaran  melihat betapa terpengaruhnya Saudara dan saya kepada daya Tarik dosa. Tidak peduli apakah kita semua adalah Pelayan Tuhan atau anggota Jemaat biasa kita sudah tercebur kedalamnya. Kesombongan, materialistic, sekularisme dan masih banyak yang lainnya, bukankah terjadi pada kita hari ini!

Kedua, pada waktu kita melihat Tuhan berarti, kesempatan keselamatan ditawarkan kepada Saudara dan saya. Ternyata Kasih Karunia-Nya menutupi dosa-dosa kita. Kebaikan-Nya,    melampaui tingginya dosa kita.  Pengertian kedua ini tidak sekadar  samapai di sini saja. Kebaikan Tuhan, Kasih Karunia-Nya yang ajaib tidak perlu diragukan lagi. Namun, itu akan sia-sia jika kita tidak bergeser pada posisi berikut ini: “Mereka  yang berjalan dalam bayang-bayang salib Golgota tidak akan meninggikan diri, tidak akan menyombongkan diri karena mereka telah dibebaskan dari dosa. Mereka merasa bahwa karena dosa-dosa merekalah  yang menyebabkan penderitaan yang menghancurkan hati Anak Allah, dan pemikiran ini akan menuntun mereka kepada penyesalan yang mendalam. Mereka yang   hidup paling dekat dengan Yesus melihat dengan jelas kelemahan dan keberdosaan manusia, dan harapan mereka satu-satunya hanyalah jasa-jasa Juruselamat yang tersalib dan yang   telah bangkit kembali itu.”—Ellen G. White, (The Great Controversy, cp 27, p 471).

Akhirnya, pada setiap saat, kita dapat melihat Tuhan; pastikan bahwa adanya perubahan hidup kita setiap hari. Jika tidak, kita pasti melihat yang lain. Tuhan memberkati!