Pendeta: Hamba Tuhan Ataukah Pelayan Manusia

Akhir-akhir ini banyak berita yang menceritakan tentang kepemimpinan beberapa pemimpin daerah di Indonesia yang bersinar seperti Ridwan Kamil atau Tri Risma. Akan tetapi, dari semua pemimpin daerah tersebut tidak ada yang lebih “heboh’ dari gubernur Jakarta sekarang, bapak Basuki Tjahaya Purnama atau yang dikenal sebagai Ahok. Salah satu aspek yang paling menarik dari Ahok adalah perseteruannya yang sepertinya tidak habis-habisnya dengan anggota-anggota partai di DPRD Jakarta. Perseteruan ini menghasilkan pertentangan yang secara tidak langsung membuat Ahok tidak lagi berada atau menjadi anggota partai manapun. Bahkan, ada sekumpulan aktivis muda yang berusaha mendukung Ahok untuk maju dalam Pilkada Jakarta tahun 2017 melalui jalur Independen sebagai bukti bahwa Ahok adalah pelayan rakyat yang sejati dan bukan sekedar menjadikan posisinya sebagai gubernur sebagai perpanjangan tangan partai politik tertentu dalam mengambil keuntungan dari rakyat Jakarta.

Tulisan ini bukanlah sebagai artikel politis agar supaya kita-kita yang membacanya akan mendukung Ahok. Akan tetapi sesuatu yang bagi saya saya anggap menarik adalah bagaimana dinamika sosial-politik juga mempengaruhi dinamika spiritual kita. Saya masih teringat dimasa dimana pemimpin daerah itu sangatlah disegani dan bahkan ditakuti. Menjadi seorang pemimpin wilayah, adalah seperti menjadi manusia setengah dewa dimana kekuasaan betul-betul berada di tangan mereka. Hal ini terutama sekali terasa saat jaman Orde Baru, zaman dimana saya bertumbuh dan menghabiskan masa kecil saya. Di jaman itu tidak ada banyak orang yang berani untuk mengkritik apalagi lantang menentang kekuasaan pemerintah baik di daerah apalagi di pusat. Mereka yang berani, biasanya tidak akan lama berbicara entah mungkin karena kemudian menerima intimidasi dan teror.

Tetapi zaman sudah berubah, dan sekarang rakyat Indonesia berani untuk mengkritik dan mengevaluasi kepemimpinan para politikus dan kepala daerah, bahkan kepala Negara. Pemimpin daerah tidak lagi dimanjakan dengan rasa takut dari rakyatnya dan kekuasaan tampa kontrol yang dulu dimiliki banyak pemimpin daerah tersebut. Bahkan saya merasa kritik ini telah keterlaluan sampai sampai banyak orang berani mengata-ngatai pemimpin kita dengan panggilan-panggilan yang tidak pantas.

Dinamika yang sama sepertinya juga mulai mempengaruhi cara kita melihat pemimpin-pemimpin gereja kita. Saya bertumbuh di masa dimana para pemimpin gereja dihormati dan didengarkan tanpa ada keraguan sama sekali. Suara pendeta adalah suara yang dihikmatkan oleh Tuhan. Menariknya lagi, ada sepertinya sebuah kesepakatan bahwa semakin tinggi posisi sang pendeta di dalam kepemimpinan gereja semakin besarlah rasa hormat yang kita wajib berikan kepada sang pendeta tersebut.

Akan tetapi seperti analogi yang saya ungkapkan di atas, dinamika ini telah berubah. Anggota sekarang lebih terbuka dan berani dalam menyampaikan kritik dan ketidakpercayaan mereka terhadap otoritas spiritual seorang pendeta. Banyak anggota merasa bahwa pendeta sepatutnya menjadi pelayan anggotanya, dan argumen ini sepertinya dibenarkan sebab pada akhirnya bukankah pendeta hidup dari pemberian perpuluhan anggota-anggota? Oleh karena itu adalah hak anggota untuk dapat meminta pendeta bekerja sebagaimana yang mereka harapkan.

Rumitnya lagi, kadangkala kita mendengar berita-berita yang kurang mengenakkan tentang para pendeta kita. Bagaimana mereka memanipulasi uang persembahan, bagaimana mereka memanfaatkan sistem gereja untuk keuntungan pribadi, pendeta bermain politik dengan anggota2 gereja tertentu, dan lain sebagainya. Saya yakin bahwa pendeta2 seperti ini sangat kecil jumlahnya. Sebagian besar pendeta lain benar-benar tulus menjawab panggilan Tuhan apa adanya. Akan tetapi sebagaimana pepatah mengatakan “karena setitik nila, rusak susu sebelanga” tindakan sebagian kecil pelayan Tuhan ini berakibat buruk kepada seluruh anggota Korps Kependetaan.

Pertanyaannya, apakah yang Alkitab katakan tentang ini? Bagaimanakah kita sebaiknya menyikapi dinamika hbungan antara pendeta-anggota di jaman modern seperti ini?

Sedikit informasi bisa kita dapatkan dari kisah saat Bangsa Israel memutuskan untuk mengangkat seorang Raja di dalam buku 1 Samuel pasal 8. Di kisah ini dituliskan bagaimana bangsa Israel meminta raja kepada Samuel. Kalau dilihat alasan mereka sangatlah valid. Anak-anak Samuel adalah orang-orang yang korup (1 Sam8:3). Bisa dikatakan, mereka ini adalah pendeta-pendeta yang tidak dipercaya. Oleh karena itu, bangsa Israel kemudian mengatakan, “berikanlah kami seorang raja, agar kami dapat sama dengan bangsa-bangsa yang lain” (1 Sam 8:5). Ada dua prinsip yang signifikan yang bisa kita ambil dari ungkapan ini. Pertama, sampai detik dimana bangsa Israel meminta raja, semua pemimpin Israel adalah hamba-hamba Tuhan yang disebut “judges”; sebuah pekerjaan multifungsi sebagai seorang nabi, imam, kepala daerah, juga seorang hakim. Mereka ditunjuk oleh Tuhan, dan pertanggungjawaban mereka adalah kembali kepada Tuhan. Kedua,sistem pemerintahan mereka adalah “teokrasi” dimana Tuhan adalah pemimpin tertinggi dan sebagai wakilnya yang terpercaya adalah para para imamnya di kaabah atau nabi seperti Samuel. Sistem ini berubah menjadi “monarki” saat Israel meminta seorang raja bagi mereka. Oleh karena otoritas kepemimpinan sekarang diberikan kepada seorang manusia. Oleh sebab itu, Tuhan kecewa dengan pemikiran orang Israel dan mengatakan bahwa mereka bukan menolak Samuel, tetapi mereka menolak Tuhan sebagai raja mereka. (1 Sam 8:7)
Apa hubungannya antara cerita ini dengan urusan pendeta-anggota? Satu hal yang kita tidak bisa lari adalah bahwa hamba Tuhan merupakan orang-orang panggilan Allah. Bahkan saat mereka korup dan bejat sebagaimana anak-anak Samuel. Akan tetapi, sekalipun mereka korup, Tuhan tetap tidak setuju dengan solusi bangsa Israel. Apa yang salah dengan permintaan agar mereka memiliki pemimpin yang bukan seorang imam/nabi? Ada satu hal yang bisa kita tarik bahwa bangsa Israel tidak percaya kalau Tuhan sanggup untuk memenuhi janjinya sebagai pemimpin bangsa Israel oleh karena hamba-hambanya tidak hidup benar. Kedua, mereka ingin sama seperti sistem kepemimpinan bangsa lain. Pemikiran ini yang saya kuatir tanpa kita sadari telah masuk ke dalam sistem kepemimpinan kita juga dalam gereja. Kita berpikir bahwa sistem kepemimpinan kita haruslah sama dengan sistem dunia sekalipun itu bukan dari tuntunan Tuhan melalui Alkitab dan Roh Nubuat. Di masa bangsa Israel, mereka merubah teokrasi menjadi monarki. Di zaman sekarang, saya melihat ada kecenderungan kita juga mulai bergeser dari teokrasi gereja kepada demokrasi dunia.
Apakah ada yang salah dengan sistem demokrasi? Bukankan tugas pemimpin adalah untuk memenuhi harapan dan ekspektasi rakyat/pengikutnya? Saya rasa sistem demokrasi perlu diterapkan di gereja di dalam batas batas tertentu. Selama harapan dan ekspektasi anggota adalah untuk mencari Tuhan dan melayani Tuhan sepenuh hati, maka Pendeta seharusnya dengan segala daya upaya untuk memenuhi harapan ini. Karena sebagai seorang gembala, adalah tugas pendeta untuk menjadi pemerhati bagi domba-domba Allah.

Akan tetapi pendeta harus juga tetap mengingat bahwa tugas utama mereka adalah untuk mendengar suara Tuhan lebih utama daripada mendengar suara manusia, bahkan suara manusia yang adalah pengikut Tuhan sekalipun. Sebab Alkitab memberikan dua contoh saat pelayan Tuhan mendengar suara manusia lebih banyak dari suara Tuhan. Saat Harun mendengar suara bangsa Israel lebih daripada Tuhan, dia membangun patung sapi yang benar2 salah di hadapan Tuhan. Kedua, raja Saul yang merupakan “permintaan anggota langsung” saat dia menyalahkan rakyatnya sendiri di dalam kisah yang dicatat di dalam buku 1 Samuel 15. Di ayat 24 Saul mengaku “Aku telah berdosa, dan melanggar perintah Tuhan dan perintahmu (Samuel). Aku takut dengan rakyatku dan menuruti yang mereka mau” Di saat orang-orang yang dipilih Tuhan mendengarkan masukan “anggota” lebih banyak dari perintah Tuhan makan kekacauan besar terjadi. Di cerita Harun, tragedi patung sapi emas adalah salah satu yang paling parah sampai Musa harus membanting 10 hukum Allah. Begitupun di dalam kisah Saul.
Apakah ini berarti kita mengizinkan pendeta berbuat semau-maunya? Saya rasa itu bukanlah maksud saya menulis artikel ini. Sebaliknya, apakah anggota juga sekarang bisa kapan saja mempertanyakan dan meragukan otoritas spiritual pendeta mereka? Ini juga bukan maksud tulisan ini ditulis.

Kerinduan saya yang terdalam adalah sebetulnya melihat gereja perjanjian Baru dapat terjadi lagi di dalam kehidupan spiritual kita sebagai umat-umat Tuhan. Apalagi kalau kita memang percaya bahwa Roh Hujan Akhir akan menjadi kenyataan sebagaimana kisah Roh Hujan Awal yang terjadi di hari Pentekosta dalam Kisah pasal 2. Di dalam buku Kisah pasal 2, dituliskan bagaimana sebuah komunitas orang-orang percaya seharusnya tumbuh. Pendeta menjalankan tugasnya dengan tulus, anggota melakukan kewajibannya dengan sepenuh hati juga. Semua dipersatukan di dalam keyakinan yang sama bahwa Kristus adalah pemilik gereja dan pemimpin gereja yang utama. Kristus mempercayakan kepemimpinan ini kepada murid-muridnya dan mereka melakukannya dengan kesederhanaan dan ketulusan hati.

Adalah merupakan sesuatu yang sangat indah kalau kita semua dengan tulus melayani Tuhan kita sepenuh hati di dalam kapasitas apapun yang kita miliki baik itu sebagai pendeta atau anggota. Saya percaya bahwa para pendeta sebaiknya siap dan bersedia untuk mendengarkan dan menerima masukan dari para anggota apa adanya. Tidak semua kritik dan masukan itu mungkin mengenakkan untuk didengar dan diterima, tetapi sikap keterbukaan dan kemauan untuk memperbaiki kekurangan bukanlah sesuatu yang salah. Sebaliknya, gereja akan sangat diuntungkan kalau para hamba Tuhan dengan senang hati melihat bahwa anggota mereka sebetulnya memperhatikan apa yang para pendeta lakukan. Artiny mereka peduli. Akan tetapi, pendeta harus tetap sadar bahwa suara Tuhanlah yang merupakan suara paling lantang yang harus pendeta dengarkan dan janganlah motivasi itu berubah dan terbalik menjadi motivasi dimana menyenangkan anggota adalah tujuan semua pendeta.

Di sisi yang lain, para anggota jemaat pun harus menyadari bahwa sekalipun pendeta adalah manusia yang membuat kesalahan dan tidak sempurna, oleh karena tugas panggilan mereka maka Tuhan telah mempercayakan sebuah kekhususan di dalam pekerjaan pelayanan mereka. Bukan berarti mereka memiliki otoritas tanpa batas, akan tetapi menghormati hamba Tuhan tetap menjadi bagian dari kehidupan kerohanian kita. Saya kadang merasa sedih saat saya mendengar ucapan seperti “pendeta itu kan digaji dari perpuluhan saya, jadi saya punya hak untuk meminta pendeta memenuhi apa yang saya mau”. Bagi saya, ungkapan seperti ini punya motivasi yang sama seperti saat bangsa Israel meminta raja kepada Tuhan. Kita harus ingat, bahwa Segala yang kita miliki dalam hidup ini adalah karena berkatNya, dan adalah kewajiban kita untuk mengembalikan 10 persen yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan. Kalau Tuhan dalam kebijaksanaaNya memutuskan bahwa perpuluhan kita menjadi sistem dimana hambaNya mendapatkan pendapatan sehari2 maka janganlah kita merusak hubungan kita dengan Tuhan dengan menggunakan alasan para pelayan Tuhan yang korup, untuk tidak mengikuti perintah Tuhan. Karena bisa saja saat kita melakukannya, kita berpikir kita sedang menolak Samuel sementara sebetulnya kita sedang menolak Tuhan itu sendiri.

Saya percaya, tidak semua yang membaca tulisan saya ini akan 100 persen setuju dengan apa yang saya tuliskan, atau bahkan tersinggung dengannya. Akan tetapi motivasi saya hanyalah sederhana. Saya percaya bahwa hubungan seorang pendeta dan umat-umatnya sepatutnya berada dalam pengertian gembala dan domba-dombanya. Tetapi sepertinya pengertian ini telah bergeser dan berubah mengikuti sistem yang dianut dunia sekuler. Gereja bukanlah lahir dari proses demokrasi, melainkan lahir dari kerinduan Tuhan menyelamatkan dunia yang berdosa ini. Oleh karena itu gereja harus berani memiliki prinsip kepemimpinan yang berdasarkan tuntunan Ilahi yang sekalipun di dalam prakteknya mungkin tidak sempurna, tetapi dengan iman kita harus mematuhinya.